Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

21 August 2007

Vaksin Dengue (Demam Berdarah) Semakin Dekat

(www.kompas.com, Senin 20 Agustus 2007)
Uji klinis kandidat vaksin dengue ChimeriVax baru-baru ini membawa harapan yang semakin terang bagi tersedianya vaksin dengue yang efektif dalam beberapa tahun ke depan. Potensinya yang menjanjikan semakin mendekatkan dunia pada panacea virus yang mengintai anak-anak di lebih dari seratus negara tropis dan subtropis ini.

Sukses ChimeriVax yang dikembangkan perusahaan farmasi Perancis dan Amerika Serikat ini memperpanjang daftar kandidat vaksin dengue yang berprospek cerah. Sebelumnya beberapa kandidat lain memperlihatkan performa yang sama-sama menjanjikan.

Beberapa misalnya yang diteliti oleh Walter Reed Army Institute of Research (AS) berkolaborasi dengan GlaxoSmithKline, Belgia, dan sebuah kandidat lain yang dikembangkan National Institute of Allergy and Infectious Disease (AS). Thailand sebagai pionir riset vaksin dengue juga terus bergiat dengan kandidat vaksin andalan mereka dan telah sukses melewati beberapa tahapan uji klinis dalam tahun-tahun terakhir.

Capaian ini memecah kebuntuan yang selama ini menghadang riset vaksin dengue. Sejak dirintis pada akhir dekade 1970-an sampai 1990-an belumlah banyak kemajuan penting diraih.
Di samping karena seretnya sokongan dana ketika itu, antusiasme perusahaan farmasi raksasa dan pusat-pusat riset kesehatan unggul dunia juga amat minim sehingga riset vaksin tidak berjalan optimal. Alasannya pragmatis saja. Penyakit dengue umumnya berjangkit di negara miskin dan berkembang sehingga luput dari prioritas.

WHO pun pernah menyebut dengue sebagai penyakit yang lama terabaikan sembari mendorong secara politis percepatan riset vaksin.
Kenapa vaksin? Dua alasan, paling tidak, mengapa vaksin dengue dibutuhkan dan dipandang sebagai pendekatan yang lebih efektif dan berkesinambungan dalam mengendalikan penyakit dengue.
Pertama, program pemberantasan nyamuk yang selama ini menjadi prioritas utama untuk mencegah wabah tidak berjalan efektif. Penyebabnya, nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor utama virus telah beradaptasi begitu rupa di lingkungan urban sehingga sulit membasminya.

Dari segi ekonomi, dana yang dikeluarkan untuk program pemberantasan dan pengendalian vektor menjadi beban ekonomi yang tidak ringan. Sebut saja Brasil yang harus menguras ratusan juta dollar AS setiap tahun untuk mengontrol perkembangan virus. Thailand dan Indonesia juga tidak sedikit menghabiskan dana untuk tujuan serupa, namun tetap saja wabah dengue menjadi ritual tahunan.
Kedua, vaksin dibutuhkan untuk mencegah penyakit berkembang, baik dari luasnya penyebaran maupun peningkatan keparahan penyakit.

Muncul kekhawatiran jika mata rantai virus bertambah luas dan tidak diputus, virus akan bermutasi sedemikian rupa sehingga semakin ganas. Melihat manifestasi klinis penyakit dari tahun ke tahun, seperti makin banyaknya kasus dengue encephalopati, terutama pada anak-anak, dan meningkatnya proporsi orang dewasa yang terjangkit, apa yang dikhawatirkan cukup beralasan.

Strategi
ChimeriVax dan kandidat vaksin dengue lainnya pada prinsipnya dirancang untuk mengatasi apa yang disebut dengan risiko "dosa bawaan" (original sin), suatu fenomena klasik dan unik pada infeksi dengue dan menjadi kendala terbesar pengembangan vaksin.

Seperti kita tahu, ada empat tipe virus dengue yang beredar (dengue 1-4). Seseorang yang pernah terinfeksi oleh satu tipe virus akan kebal terhadap tipe virus itu, tetapi tidak terhadap ketiga tipe lain.
Alih-alih melindungi, antibodi yang ada justru memfasilitasi virus masuk ke dalam sel-sel target sehingga terjadi infeksi secara masif dan risiko timbulnya penyakit dengue berat menjadi berlipat. Inilah yang disebut fenomena "dosa bawaan" atau dikenal juga immune enhancement. Meski tidak sepenuhnya dapat menjelaskan semua kasus dengue, immune enhancement diyakini berperan penting dalam perjalanan penyakit, terutama dengan manifestasi klinis berat (demam berdarah dengue atau dengue shock syndrome).

Untuk menghindari risiko "dosa bawaan" ini, strategi aman yang ditempuh dalam pengembangan vaksin dengue adalah meracik vaksin tetaravelen (’4 dalam 1’).

Caranya dengan mengemas empat antigen virus sekaligus dalam satu racikan vaksin sehingga mewakili keempat tipe virus. ChimeriVax sendiri terdiri dari empat monovalen, salah satunya ChimeriVax-DEN-2.

ChimeriVax adalah vaksin virus hidup yang dilemahkan (attenuated). Dikembangkan melalui teknik rekayasa genetika dengan cara menyisipkan gen selubung dan membran virus dengue ke virus vaksin Yellow Fever (YF 17D).

Dipilih YF 17D sebagai kerangka karena vaksin Yellow Fever ini (penyebab demam kuning) telah mapan dan teruji keamanannya, di samping juga kedua virus ini berkerabat dekat. Pelemahan (atenuasi) ChimeriVax bergantung pada mutasi tertentu pada kerangkan YF 17D.

Uji klinis ChimeriVax menunjukkan vaksin menginduksi antibodi proteksi terhadap keempat tipe virus serta aman tanpa ada efek samping yang serius. Sebelumnya monovalen ChimeriVax-DEN-2 sendiri pada 2006 sukses diujikan pada manusia.

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan tingkat toleransi, keamanan, dan immunogenik kandidat ChimeriVax-DEN-2 dengan vaksin YF komersial (YF-VAX) pada 42 sukarelawan dewasa. Hasilnya ChimeriVax-DEN-2 terbukti aman dan immunogenik seperti halnya vaksin YF.

Berbeda dengan ChimeriVax, vaksin yang dikembangkan Thailand menempuh pendekatan lain. Virus dilemahkan dengan cara konvensional, yaitu menumbuhkannya secara berulang pada galur sel tertentu sehingga daya infeksinya lumpuh, namun sifat immunogeniknya (kemampuan merangsang sel-sel imunitas) tetap terjaga. Teknik serupa juga dipilih oleh Walter Reed Army Institute of Research (AS) dan GlaxoSmithKline. Kandidat vaksin tetravalen yang mereka kembangkan saat ini sedang memasuki klinis fase 2.

Beberapa pendekatan alternatif juga coba ditempuh untuk mengembangkan vaksin dengue semisal vaksin subunit dan DNA yang masing-masing diteliti oleh Hawaii Biotech dan Navi Medical Research Centre (AS).

Meski relatif baru, pendekatan mutakhir ini tidak kalah menjanjikan. Vaksin DNA, misalnya, didesain dengan cara menyisipkan beberapa gen virus ke vektor plasmid (elemen loncat yang berfungsi sebagai pengantar) lalu dikemas dengan DNA lain yang bersifat immunogenik kuat. Uji klinis (fase 1) kandidat vaksin ini sedang dievaluasi.

Konsorsium internasional
Pengembangan vaksin dengue bukan upaya mudah dan murah, terbukti dengan belum tersedianya vaksin meski telah dirintis sejak lama. Maka untuk mempercepat penyediaan vaksin, sejak 2002 telah terbentuk Pedriatic Dengue Vaccine Initiative (PDVI), yaitu sebuah konsorsium internasional yang bergiat dalam advokasi untuk meyakinkan masyarakat internasional akan penting dan mendesaknya vaksin dengue. Selain berkoordinasi terkait pengembangan vaksin dengue.

Misi utama PDVI yang beranggotakan lembaga internasional, lembaga riset, dan negara-negara endemik dengue, termasuk Indonesia, adalah mempercepat pengembangan dan introduksi vaksin yang aman, efektif, dan terjangkau, terutama bagi anak-anak di negara miskin dan berkembang.
Untuk mewujudkan visi ini, PDVI memberikan sokongan penuh dalam riset dan uji klinik fase 3 kandidat vaksin yang sudah ada seperti ChimeriVax. Salah satu isu besar menanti di depan adalah soal efektivitas vaksin di daerah endemik dengue di mana sebagian besar individu terpapar virus secara alamiah. Dibutuhkan studi prospektif dalam skala geografis luas dan waktu yang cukup lama untuk mengevaluasi isu ini.

Kita boleh berharap virus dengue tidak lagi menjadi mimpi buruk bagi anak-anak di negara- negara tropis seperti Indonesia.

Penulis : Muhareva Raekiansyah Bekerja di Institue of Human Virology and Cancer Biology of University of Indonesia (IHVCB-UI)

Foto Pilihan : SENAM BERSAMA DALAM RANGKA HARI MALARIA SEDUNIA KE-3

Foto Pilihan : SENAM BERSAMA DALAM RANGKA HARI MALARIA SEDUNIA KE-3
Staf KKP Kelas II Jayapura Photo Bersama Setelah Kegiatan