Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

21 December 2007

Foto : uji sampel air

Tim KKP Jayapura dari Seksi PRL melakukan uji sampel air di laboratorium KKP Jayapura, guna mendapatkan informasi akurat tentang kualitas air apakah dapat digunakan oleh masyarakat atau tidak

17 December 2007

Usaha Lebih Serius Mengatasi Gangguan Pendengaran

(www.depkes.go.id, 17 Desember 2007)
Hari Kamis, 14/12/2007, Menteri Kesehatan RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), mengukuhkan anggota Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Acara pegenalan Komnas PGPKT ini kepada umum dilakukan di Hotel Aston Atrium Senen, Jakarta, segera setelah acara pengukuhan anggota Komnas yang ditetapkan berdasar Keputusan Menteri Kesehatan No. 768/Menkes/SK/VII/2007.

Mereka yang akan bekerja dalam Komnas PGPKT adalah Ny. Mufidah Yusuf Kalla sebagai Pembina dan Dr. Damayanti Soetjipto, Sp.THT-KL(K) sebagai Ketua. dr. Edi Suranto, MPH dan dr. Sosialisman, Sp.THT-KL(K) sebagai wakil ketua, Dr. Ratna. D. Restuti, Sp. THT-KL dan dr. Sulastini, Mkes sebagai sekretaris, dr. Semiramis, Sp.THT-KL(K) sebagai bendahara. Selain itu terdapat sepuluh anggota yaitu Prof. Dr. Hendarto Hendarmin, Sp.THT-KL(K), dr. Bambang Hermani, Sp.THT-KL(K), dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL(K), dr. Soekirman Soekin, Sp.THT-KL(K), Dr.Dr. Jenny Bashirudin, Sp.THT-KL(K), Hatta Kasoem, Manfred Stoifel, dr. Stefanus Indradjaya, Iffet Sidharta dan Charles Bonar Sirait.

Gangguan pendengaran, seperti juga gangguan pada indera lain, tentu cukup menghambat lancarnya fungsi sehari-hari penderitanya. Dengan anggota dari unsur pemerintah, wakil organisasi profesi, asosiasi, pemerhati, LSM, dunia usaha, swasta dan perorangan yang dianggap memiliki komitmen tinggi, diharapkan Komnas PGPKT dapat melahirkan usaha-usaha kreatif untuk mencegah dan mengatasi gangguan pendengaran dan ketulian. Untuk itu, tugas pokok dan fungsi Komnas PGPKT adalah memberi masukan kepada pemerintah melalui Menkes dalam menyusun kebijakan dan program penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian, membantu memfasilitasi terbentuknya komite PGPKT di propinsi dan kabupaten/kota, mengkoordinasi peningkatan dan pemanfaatan sumber daya untuk kegiatan-kegiatan penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian, serta menjadi mediator/koordinator peningkatan sumber daya yang ada nantinya. Komnas akan merengkuh kerjasama para dokter, perawat, asisten audiologi, audiometris, terapis wicara, pendidik, teknisi dan masyarakat agar usaha mereka didasari oleh visi yang sama.

Menteri Kesehatan berharap terbentuknya Komnas PGPKT dapat menguatkan kerjasama pemeritah dan berbagai pihak untuk memobilisasi sumber daya dan menyelaraskan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia yang bergerak dalam usaha pencegahan dan penanganan gangguan pendengaran dan ketulian. Menkes juga mengharapkan agar Komnas ini dapat menyebarkan informasi tentang gangguan pendengaran dan ketulian sehingga pengetahuan dan partisipasi masyarakt dapat meningkat. Peningkatan kesertaan masyarakat juga dapat digerakkan lewat Pos Kesehatan Desa, Posyandu Balita serta Posyandu bagi Penduduk Usia Lanjut (Usila).
Komnas ini akan menggerakkan upaya promotif, preventif, dan tentu saja memberikan pelayanan kesehatan indera pendengaran yang optimal untuk tindakan kuratif dan rehabilitatif. Ke depan, selain dapat membantu mereka yang terkena gangguan pendengaran dan ketulian, Komnas diharapkan juga dapat mengusahakan pencegahan yang lebih efektif.

Saat ini, sekitar 4-5 ribu bayi lahir tuli setiap tahunnya. Dari survei kesehatan indera di 7 propinsi pada tahun 1994-1996 lalu saja diketahui bahwa 0,4% penduduk Indonesia menderita ketulian dan 16,8 % penduduk Indonesia menderita gangguan pendengaran. Jadi, diperkirakan setidaknya sekitar 4 juta penduduk Indonesia tak dapat mendengar dengan baik. 3,1% dari mereka, menderita gangguan karena infeksi telinga tengah (otitia media supuratif kronik/OMSK) yang antara lain juga disebabkan paparan asap rokok pada anak-anak. 0,1% tuli karena obat toksik (ototoksitas) dan 2,6% tuli karena usia lanjut (presbikusis). 0,3% menderita ketulian karena terpapar kebisingan.

Makin bisingnya lingkungan karena makin banyaknya kendaraan bermotor, tidak terawatnya mesin dan knalpot kendaraan bermotor tersebut, serta kerapnya penggunaan klakson, tentu akan menambah faktor riiko gangguan pendengaran. Pembangunan gedung-gedung, pengoperasian mesin-mesin pabrik tanpa memenuhi persyaratan kesehatan pendengaran, menambah paparan kebisingan di dunia kerja. Mesin-mesin rumah tangga yang tidak terawat seperti pendingin ruangan, kipas angin, dan peralatan listrik lain juga menyumbang pada kebisingan di dalam rumah, bahkan ke lingkungan tetangga. Gaya hidup kini seperti penggunaan earphone, headphone, bahkan handphone untuk mendengarkan musik, terutama dengan volume yang tinggi, menambah banyaknya faktor risiko ketulian.

Dari hasil pertemuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kawasan SEARO di Srilanka pada tahun 2002, ditetapkan bahwa ketulian akibat paparan terhadap kebisingan menjadi salah satu prioritas utama masalah gangguan yang harus ditanggulangi, tentu saja selain upaya pencegahan dan penanganan OMSK dan presbikusis. Prioritas juga ditujukan pada upaya penanganan atau penemuan dan inovasi yang dapat membantu para penderita tuli kongenital (tuli saat lahir karena berbagai sebab). Menindak-lanjuti pertemuan di atas, telah dibentuk forum regional Asia Tenggara untuk menanggulangi gangguan pendengaran dan ketulian, di Bangkok, tanggal 4 Oktober 2005. Organisasi ini dengan 11 anggotanya bertujuan menurunkan angka gangguan pendengaran dan ketulian di wilayah Asia tenggara, sebesar 50% di tahun 2015, dan 90% di tahun 2030.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-5223002 dan 52960661, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id.

06 December 2007

Sekitar 40 Juta Anak di Bawah Usia 15 Tahun Mengalami Kekerasan dan Penelantaran

(www.depkes .go.id, 6 Desember 2007)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa secara global sekitar 40 juta anak usia di bawah 15 tahun mengalami kekerasan dan penelantaran yang memerlukan penanganan kesehatan dan sosial. Berdasarkan laporan Departemen Sosial, di Indonesia data kasus anak yang mengalami tindak kekerasan pada tahun 2006 adalah 182.400 kasus. Sedangkan data Pusdatin Komnas Perlindungan Anak memberikan gambaran adanya kecenderungan peningkatan baik jumlah maupun jenis kasus Kekerasan Terhadap Anak (KTA) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2004-2006). Gambaran tersebut merefleksikan kasus KTA sebagai “fenomena gunung es�, artinya yang terlihat dipermukaan adalah sebagian kecil saja dari kasus sebenarnya yang terjadi di masyarakat.

Masalah KTA di Indonesia seperti di negara-negara lainnya merupakan hal yang tersembunyi dan fenomena yang meluas. Hal ini terbukti dengan maraknya berbagai media massa yang memberitakan tentang kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini. Meningkatnya pemberitaan KTA tersebut karena adanya peningkatan jumlah kasus KTA di masyarakat dan peningkatan kesadaran masyarakat melaporkan kasus yang terjadi dilingkungannya.Berkaitan dengan permasalahan tersebut, Departemen Kesehatan menyelenggarakan seminar mengenai “Penanganan Multidisiplin Korban Kekerasan Pada Anak�, yang melibatkan lintas program dan lintas sektor serta unsur terkait lainnya, sekaligus mensosialisasikan buku Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak bagi petugas kesehatan. Seminar dibuka oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, dr. Sri Astuti S. Suparmanto, M.Sc(PH), tanggal 6 Desember 2007 di Gedung Serbaguna Departemen Kesehatan.

Dalam seminar ini dibahas mengenai aspek Pidana dan aspek Psikososial penanganan kasus KTA, pengalaman pendampingan korban KTA, Kebijakan Depsos dalam penanganan KTA, Pelayanan Kesehatan dalam KTA, Pelayanan Multidisiplin KTA di Rumah Sakit dan Mekanisme Penanganan KTA di DKI dengan nara sumber Dr. Ina Hernawati, MPH, Prof.dr. Budi Sampurna, Sp.F, SH, Dr. Tjin Wiguna, SpKJ, Dr. Hanif Asmara (Depsos), Wien Ritola, SH (P2TP2A, DKI), RPK Polres Metro Tangerang, dan Yayasan Anak Cendikia Indonesia.

Dalam sambutannya, Dirjen Bina Kesmas dr. Sri Astuti S. Suparmanto, M.Sc(PH) mengatakan bahwa kekerasan terhadap anak (KTA) merupakan masalah sosial yang berdampak sangat besar terhadap masalah medis dan erat berkaitan dengan aspek mediko-legal. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanganan KTA tidak hanya dari aspek psiko-sosialnya saja, akan tetapi juga menyangkut aspek klinis dan mediko-legal.

Menurut Dirjen Bina Kesmas, petugas kesehatan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan KTA, karena umumnya korban datang ke sarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas atau Rumah Sakit untuk mencari pertolongan untuk mengatasi gangguan kesehatan yang dirasakan. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus memiliki kompetensi klinis maupun mediko-legal, agar dapat bekerja sama dengan unsur terkait lainnya untuk memperkuat sistem penanggulangan KTA.

Dirjen Bina Kesmas mengatakan, anak korban kekerasan berpotensi besar menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari jika tidak ditangani secara tuntas. Oleh karena itu, penanganan kasus KTA secara medis saja belum dapat menyelesaikan masalah tersebut, sehingga perlu adanya pendekatan penanganan secara terpadu dan komprehensif melalui pengembangan Pusat Krisis Terpadu (PKT) atau Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang meliputi aspek medis, mediko-legal dan psikososial. PKT/PPT memberikan “Pelayanan Satu Atap� (one stop service) dengan pintu masuk melalui pelayanan kesehatan, yang akan diintegrasikan secara multidisiplin dengan pelayanan hukum dan psikososial yang dibutuhkan.

Dirjen Bina Kesmas menambahkan, Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat dapat menjadi salah satu tempat penerimaan kasus KTA dari masyarakat sekaligus dapat menjalankan fungsi rujukan ke fasilitas layanan psikososial atau sarana kesehatan yang lebih tinggi seperti Pusat Krisis terpadu atau Pusat Pelayanan Terpadu. Sejalan dengan itu, Departemen Kesehatan bekerjasama dengan Child Protection Unit UNICEF pada tahun 2003 telah menyusun buku Pedoman Pelatihan Penanganan KTA bagi petugas kesehatan dan melatih petugas Puskesmas dan Rumah Sakit tentang tata laksana penanggulangan KTA, terutama di daerah-daerah yang potensi masalah KTA tinggi. Untuk memperkuat sistem rujukan, maka pada tahun 2006 disusun buku Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak bagi Petugas Kesehatan.

Dirjen Bina Kesmas berharap, dengan adanya buku Pedoman Rujukan Kasus KTA bagi petugas kesehatan bisa menjadi acuan dalam penanganan KTA di lapangan, terutama bagi tenaga kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit. Selain itu, diharapkan partisipasi dari semua pihak terkait termasuk LSM, Organisasi Profesi, Organisasi Masyarakat lainnya serta Media Massa dalam memperkuat sistem penanggulangan KTA mendukung upaya Pemerintah menanggulangi masalah KTA. Keberhasilan tersebut dapat dicapai dnegan adanya komitmen yang kuat dan kerjasama yang baik dengan semua stake holders sehingga kita dapat menyelamatkan anak bangsa dari dampak kekerasan yang mengancam kelangsungan hidup anak, serta merugikan aset keluarga, masyarakat dan negara.
Dari sisi program, melalui seminar ini diharapkan terbentuknya Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)/Pusat Krisis Terpadu (PKT) di Rumah Sakit di 4 Kabupaten/Kota. PKT/PPT memberikan “pelayanan satu atap� (one stop service) dengan pintu masuk melalui pelayanan kesehatan dan diintegrasikan secara multidisiplin dengan pelayanan hukum dan psikososial yang dibutuhkan. Selanjutnya, terdapat 5 Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota yang mampu melakukan tatalaksana penanganan kasus KTA dan rujukan medis maupun psikososial. Di samping itu, Propinsi dengan masalah KTA tinggi memperkuat sistem penanggulangan KTA baik medis, mediko-legal dan psikososial. Beberapa Propinsi yang berpotensi masalah KTA tinggi adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Papua, Irian Jaya Barat, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Selatan.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-5223002 dan 52960661, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id.

Foto Pilihan : SENAM BERSAMA DALAM RANGKA HARI MALARIA SEDUNIA KE-3

Foto Pilihan : SENAM BERSAMA DALAM RANGKA HARI MALARIA SEDUNIA KE-3
Staf KKP Kelas II Jayapura Photo Bersama Setelah Kegiatan