Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

06 December 2007

Sekitar 40 Juta Anak di Bawah Usia 15 Tahun Mengalami Kekerasan dan Penelantaran

(www.depkes .go.id, 6 Desember 2007)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa secara global sekitar 40 juta anak usia di bawah 15 tahun mengalami kekerasan dan penelantaran yang memerlukan penanganan kesehatan dan sosial. Berdasarkan laporan Departemen Sosial, di Indonesia data kasus anak yang mengalami tindak kekerasan pada tahun 2006 adalah 182.400 kasus. Sedangkan data Pusdatin Komnas Perlindungan Anak memberikan gambaran adanya kecenderungan peningkatan baik jumlah maupun jenis kasus Kekerasan Terhadap Anak (KTA) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2004-2006). Gambaran tersebut merefleksikan kasus KTA sebagai “fenomena gunung es�, artinya yang terlihat dipermukaan adalah sebagian kecil saja dari kasus sebenarnya yang terjadi di masyarakat.

Masalah KTA di Indonesia seperti di negara-negara lainnya merupakan hal yang tersembunyi dan fenomena yang meluas. Hal ini terbukti dengan maraknya berbagai media massa yang memberitakan tentang kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini. Meningkatnya pemberitaan KTA tersebut karena adanya peningkatan jumlah kasus KTA di masyarakat dan peningkatan kesadaran masyarakat melaporkan kasus yang terjadi dilingkungannya.Berkaitan dengan permasalahan tersebut, Departemen Kesehatan menyelenggarakan seminar mengenai “Penanganan Multidisiplin Korban Kekerasan Pada Anak�, yang melibatkan lintas program dan lintas sektor serta unsur terkait lainnya, sekaligus mensosialisasikan buku Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak bagi petugas kesehatan. Seminar dibuka oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, dr. Sri Astuti S. Suparmanto, M.Sc(PH), tanggal 6 Desember 2007 di Gedung Serbaguna Departemen Kesehatan.

Dalam seminar ini dibahas mengenai aspek Pidana dan aspek Psikososial penanganan kasus KTA, pengalaman pendampingan korban KTA, Kebijakan Depsos dalam penanganan KTA, Pelayanan Kesehatan dalam KTA, Pelayanan Multidisiplin KTA di Rumah Sakit dan Mekanisme Penanganan KTA di DKI dengan nara sumber Dr. Ina Hernawati, MPH, Prof.dr. Budi Sampurna, Sp.F, SH, Dr. Tjin Wiguna, SpKJ, Dr. Hanif Asmara (Depsos), Wien Ritola, SH (P2TP2A, DKI), RPK Polres Metro Tangerang, dan Yayasan Anak Cendikia Indonesia.

Dalam sambutannya, Dirjen Bina Kesmas dr. Sri Astuti S. Suparmanto, M.Sc(PH) mengatakan bahwa kekerasan terhadap anak (KTA) merupakan masalah sosial yang berdampak sangat besar terhadap masalah medis dan erat berkaitan dengan aspek mediko-legal. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanganan KTA tidak hanya dari aspek psiko-sosialnya saja, akan tetapi juga menyangkut aspek klinis dan mediko-legal.

Menurut Dirjen Bina Kesmas, petugas kesehatan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan KTA, karena umumnya korban datang ke sarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas atau Rumah Sakit untuk mencari pertolongan untuk mengatasi gangguan kesehatan yang dirasakan. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus memiliki kompetensi klinis maupun mediko-legal, agar dapat bekerja sama dengan unsur terkait lainnya untuk memperkuat sistem penanggulangan KTA.

Dirjen Bina Kesmas mengatakan, anak korban kekerasan berpotensi besar menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari jika tidak ditangani secara tuntas. Oleh karena itu, penanganan kasus KTA secara medis saja belum dapat menyelesaikan masalah tersebut, sehingga perlu adanya pendekatan penanganan secara terpadu dan komprehensif melalui pengembangan Pusat Krisis Terpadu (PKT) atau Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang meliputi aspek medis, mediko-legal dan psikososial. PKT/PPT memberikan “Pelayanan Satu Atap� (one stop service) dengan pintu masuk melalui pelayanan kesehatan, yang akan diintegrasikan secara multidisiplin dengan pelayanan hukum dan psikososial yang dibutuhkan.

Dirjen Bina Kesmas menambahkan, Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat dapat menjadi salah satu tempat penerimaan kasus KTA dari masyarakat sekaligus dapat menjalankan fungsi rujukan ke fasilitas layanan psikososial atau sarana kesehatan yang lebih tinggi seperti Pusat Krisis terpadu atau Pusat Pelayanan Terpadu. Sejalan dengan itu, Departemen Kesehatan bekerjasama dengan Child Protection Unit UNICEF pada tahun 2003 telah menyusun buku Pedoman Pelatihan Penanganan KTA bagi petugas kesehatan dan melatih petugas Puskesmas dan Rumah Sakit tentang tata laksana penanggulangan KTA, terutama di daerah-daerah yang potensi masalah KTA tinggi. Untuk memperkuat sistem rujukan, maka pada tahun 2006 disusun buku Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak bagi Petugas Kesehatan.

Dirjen Bina Kesmas berharap, dengan adanya buku Pedoman Rujukan Kasus KTA bagi petugas kesehatan bisa menjadi acuan dalam penanganan KTA di lapangan, terutama bagi tenaga kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit. Selain itu, diharapkan partisipasi dari semua pihak terkait termasuk LSM, Organisasi Profesi, Organisasi Masyarakat lainnya serta Media Massa dalam memperkuat sistem penanggulangan KTA mendukung upaya Pemerintah menanggulangi masalah KTA. Keberhasilan tersebut dapat dicapai dnegan adanya komitmen yang kuat dan kerjasama yang baik dengan semua stake holders sehingga kita dapat menyelamatkan anak bangsa dari dampak kekerasan yang mengancam kelangsungan hidup anak, serta merugikan aset keluarga, masyarakat dan negara.
Dari sisi program, melalui seminar ini diharapkan terbentuknya Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)/Pusat Krisis Terpadu (PKT) di Rumah Sakit di 4 Kabupaten/Kota. PKT/PPT memberikan “pelayanan satu atap� (one stop service) dengan pintu masuk melalui pelayanan kesehatan dan diintegrasikan secara multidisiplin dengan pelayanan hukum dan psikososial yang dibutuhkan. Selanjutnya, terdapat 5 Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota yang mampu melakukan tatalaksana penanganan kasus KTA dan rujukan medis maupun psikososial. Di samping itu, Propinsi dengan masalah KTA tinggi memperkuat sistem penanggulangan KTA baik medis, mediko-legal dan psikososial. Beberapa Propinsi yang berpotensi masalah KTA tinggi adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Papua, Irian Jaya Barat, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Selatan.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-5223002 dan 52960661, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id.

Foto Pilihan : SENAM BERSAMA DALAM RANGKA HARI MALARIA SEDUNIA KE-3

Foto Pilihan : SENAM BERSAMA DALAM RANGKA HARI MALARIA SEDUNIA KE-3
Staf KKP Kelas II Jayapura Photo Bersama Setelah Kegiatan